Kamis, 22 April 2010

Sistem pengambilan keputusan ditinjau dari administrasi publik

pemerintahan.umm.ac.id/files/file/.../Bu%20Tyr%20Jurnal.Doc

ADMINISTRASI PUBLIK DAN PENENTUAN PILIHAN KEBIJAKAN: REFORMASI ATAU REVITALISASI
Oleh : Tri Sulistyaningsih

I. LATAR BELAKANG MASALAH
Administrasi publik di era global seperti saat ini mengalami situasi upheaval dan turbulance yang menghendaki adanya interrelation dan interdependence antar komponen yang kesemuanya disebabkan adanya kompetensi yang semakin kompleks. Baik organisasi maupun negara dan pemerintahan harus dapat mengantisipasi hal ini agar dapat melangsungkan kehidupan dan kegiatannya dan juga dapat tetap survive dalam menghadapi perubahan yang pesat saat ini, bahkan dapat mempercepat perkembangan dan pembangunannya ( Utomo, 2005: 6).
Dalam menghadapi berbagai perubahan kondisi yang ada, administrasi negara dituntut untuk melakukan pembaharuan dengan reformasi atau revitalisasi. Reformasi ini bisa telah melekat pada diri administrsi negara tersebut (inherent) dan dapat pula berasal dari luar (inducement). Menurut Warella (2005), sesungguhnya reformasi administrasi negara telah inherent dalam tubuh administrsi negara itu sendiri sejak lahir, namun demikian faktor-faktor luar juga berpengaruh.
Adapun tantangan yang dihadapi administrasi negara pada abad 21 ini, menurut Philips J. Cooper (1998) di dalam bukunya yang berjudul Public Administration for Twenty First Century, terdiri dari: Diversity; Accountability, Privatization; Civil Society; Democracy; Decentralization; Reengineering; The Empowering Effect of High Technology. Sedangkan bagi Hughes (1994) di dalam Management and Public Administration mengetengahkan Challenges, Opportunities and Directions in a number issues on Public Administration as:
1. The culture Milieu of Public Administration
2. Crisis/Disaster Management
3. Strengthening of level institution
4. Promoting Accountability in Public Management
5. Human Resources Development
6. The Impact of Tecnology of Public Administration
7. Managing economic and tecnology Interdependencies (Warsito Utomo, 2005)
Untuk menghadapi tantangan tersebut reformasi administrasi negara dapat dimulai pada tingkat policy. Dalam arti proses politik untuk menghasilkan kebijakan publik perlu dikaji ulang. Hal ini mengingat administrasi publik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan public policy. Sebagaimana pendapat Felix A. Nigro and Lioyd G. Nigro dalam buku “Modern Public Administration (1980) mengemukakan “Public administration has important role in formulation of public policy, and then part of the political process. Nicholas Henry (1989) dalam buku “Public Adminintration and Public Affairs, mengatakan “Fokus dari ilmu adminstrasi negara dalam paradigma ke lima administrasi negara adalah identik dengn “Public Policy” yang terjadi dalam era dan suasana “techno bureaucratic big democracy. Pendapat senada dikemukakan Miftah Thoha (1992), yaitu bahwa dimensi pertama yang menjadi pokok perhatian administrasi negara adalah public policy yang berupa proses pembentukan masalah pemerintah, pemecahannya, penentuan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan yang digunakan sebagai gambaran pengertian public policy (Hariyoso, 2002).
Atas dasar batasan tersebut, maka peran administrasi negara yang diwakili oleh tampilan birokrasi dalam (proses) kebijakan publik sangatlah penting. Permasalahnnya adalah sumber daya birokrasi yang ada saat ini masih belum mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya berpihak kepada publik, kendalti hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Selanjutnya Hariyoso mengemukakan berbagai kritikan yang ditujukan pada birokrasi yang tidak mumpuni tersebut ditujukan pada kelekatan pengaruh kerangka teori klasik Weberian (classical theory Weberian framework) yang melahirkan konsep birokrasi otoritas dominan, beserta perolehan-perolehan dan praktika-praktika pengetrapan yang mapan dalam penyelenggaraan pemerintahan hingga saat ini. Menurut Desveaux (1995), kadar kepublikan suatu birokrasi yang mapan masih banyak berada dalam posisi yang belum memadai bila diadakan evaluasi penjajagan kinerja (bech marking), bahkan kondisi yang ada saat ini kadar kepublikannya belum sempurna (low stateness). Suasana ini disebut “bureusis” yang akurat dan berpandemi di negara-negara berkembang ditandai dengan kadar kerendahan karakter kepublikan birokrasi, padahal di lain pihak telah berkembang tuntutan bagi penampilan entitas kelembagaan birokrasi dengan penampilan atau berlabel publik (public/stated centered).
Rendahnya kemampuan birokrasi dalam merespon dan mememformulasikan kebijakan sebagaimana yang dikehendaki publik acap kali melahirkan ketidak percayaan terhadap birokrasi publik. Analog dengan kondisi yang ada maka perlu adanya langkah-langkah reformasi dan revitalisasi birokrasi khususnya dalam proses kebijakan publik. Sehingga karakter birokrasi lebih berkategori / perpihal pada publik (related public agency) dalam penyelenggaraan pemerintahan.


II. Konsep Reformasi dan Revitalisasi
Reformasi administrasi publik pada hekekatnya menyangkut tiga hal yaitu administrative improvement, administrative change, dan administrative modernization (Warella, 2005). Reformasi dengan ke-tiga hal yang termasuk di dalamnya tersebut harus dilakukan untuk menghadapi berbagai perubahan kondisi sosial, politik dan ekonomi. Menurut Warsito Utomo (2005) pada kondisi upheaval dan turbulance, yang diperlukan tidak saja kesadaran untuk berubah tetapi juga perlu interconnection dan interdependence. Oleh karena itu diperlukan strategi yang matang yang berorientasi pada integrated approach.
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama (Khan dalam Wayan, 2005. Sedangkan Quah mendifinisikan reformasi administrasi secara lebih jauh yaitu sebagai suatu proses untuk merubah prosedur birokrasi publik untuk merealisasikan pembangunan (Quah, 1976 dalam Caiden, 1991). Dengan demikian reformasi dalam konteks ini menyangkut scope yang luas, yaitu menyangkut sistem terutama untuk mencapai tujuan pembangunan yang tentu saja memiliki ranah yang sangat luas dan komplek. Batasan yang sejalan dengan Quah tersebut dikemukakan United Nations yang memberikan definisi reformasi administrasi sebagai penggunaan otoritas dan pengaruh dengan penerapan sistem administrasi dengan ukuran-ukuran baru untuk merubah tujuan, struktur, dan prosedur untuk pencapaian tujuan pembangunan (United Nations, 1983 dalam Caiden, 1991).
Reformasi administrasi pada dasarnya mengarah pada kinerja pemerintah yang lebih efisien dan efektif dalam rangka pemenuhan pelayanan publik yang ideal. Dengan kata lain Reformasi administrasi mengarah pada good governance. Pertanyaannya adalah “bagaimana negara harus memimpin dan apa yang harus dilakukan negara”. Dari sudut pandang kepentingan publik, pertnyaan-pertanyaan apakah program-program yang diadopsi melalui proses pilihan-pilihan kebijakan telah memberikan outcomes lebih banyak pada publik dibandingkan sistem. Pelaku reformasi seluruhnya percaya bahwa perubahan yang dilakukan akan mengarah pada hasil yang terbaik, kendati mereka menggunakan cara yang sangat berbeda dengan kepentingan publik. Untuk memahami hal tersebut, Peter (2001) mengemukakan model seperti pada Tabel 1.




Tabel 1. Major Features of the Four Models
_________________________________________________________________
Market Participative Flexible Derugulated
Government Government Government Government
______________________________________________________________________________

Principal Monopoly Hierarchi Permanence Internal rgulation
Diagnosis

Structure Desentraliza- Flatter organization Virtual orga- No particular
Tion nization recomendation

Management Pay for perfor- TQM; temaas Managing Greater managerial
Mance; other temporary freedom
Private-sector personal
Techniques

Policy Making Internal market; Consultation; Experimenta- Enterpreneurial
Market incentive Negotiation tion government

Public Interest Low cost involvement; Low Cost Creativity;
Consultation Coordination activism
______________________________________________________________________________

Untuk siapa sesungguhnya reformasi administrasi publik? Pertanyaan ini dikemukakan oleh Ceiden (1991) dalam bukunya “Administrative Reform Come of Age” Reformasi administrasi harus mencoba untuk membuat perkiraan kebutuhan ideal manusia. Dengan reformasi administrasi, birokrasi sebagai perwujudan wajah negara harus mampu menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan publik. Reformasi administrasi memberikan kontribusi pada kemajuan kehidupan manusia atau kualitas hidup. Strategi reformasi administrasi, untuk meyakinkan pemimpin publik bahwa perubahan dalam pemerintahan sangat penting untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan meningkatkan effisiensi dan effisiensi organisasi publik. Namun untuk mencapai reformasi administrasi bukanlah sesuatu yang mudah. Pemerintah merupakan lembaga yang besar, komplek dan ruwet. Didalamnya terdapat banyak sekali lapisan dengan ribuan politikus, pegawai negeri, dan warga negara dengan berbagai kepentingannya.
Untuk itu untuk meningkatkan kinerja pemerintah Osborn dan Plastrik mengemukakan lima strategi yaitu: Pertama, strategi inti yaitu bagian yang menentukan tujuan sistem organisasi pemerintah. Kedua, strategi konsekuensi yang menentukan sistem insentif pemerintah. Ketiga, strategi pelanggan yaitu terutama memusatkan pada akuntabilitas, pertanggungjawaban, kepada siapa seharusnya organisasi bertanggung jaawab. Keempat, strategi kontrol yang menentukan letak pengambilan keputusan. Dalam sistem birokrasi sebagian besar kekuasaan tetap ada di sekitar puncak hirarkhi. Dan strategi kelima strategi budaya yang menentukan budaya organisasi pemerintah: nilai-nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai (Osborn dan Plastrik, 2000: 45).
Dengan menggunakan asumsi strategi yang lama/tradisional dalam ilmu administrasi dimana sistem administrasi merupakan instrumental yang lebih murni sebagai mesin pelaksana keputusan., organisasi pemerintah yang sangat besar tidak akan dapat bekerja dengan baik (Ceiden, 1982). Lebih lanjut Ceiden mengemukakan trend yang lebih meyakinkan dalam pencapaian reformasi administrasi. Pertama, pengurangan volume urusan publik dalam administrasi negara tidak memungkinkan pemimpin publik membuat perjanjian dengan lebih banyak fraksi kecil. Ketika pemerintahan lebih kecil, maka memungkinkan pemimpin untuk mengetahui lebih banyak apa yang harus dilakukan. Dengan demikian pemerintah akan dapat menanganai berbagai permasalahan secara lebih spesifik dari berbagai isu dan untuk membuat keputusan. Kedua, peran administrasi publik akan mentransformasikan dari permasalahan yang lebih besar menjadi lebih detil dalam implementasi kebijakan untuk mempertanggungjawabkan pilihan dan inisiatif kebijakan, manajemen yang sangat besar, organisasi yang sangat komplek, dan personifikasi dari pemerintahan untuk memerintah. Ketiga, eksistensi organisasi publik dalam periode ini tidak memiliki instrumental yang lebih besar melainkan institusional. Mereka mengembangkan kekuasaan independen. Mereka memiliki suara dominan untuk membuat atauran yang diinginkan. Keempat, beberapa organisasi publik tidak memiliki kompetitor, tidak memiliki pesaing, tidak ada pihak swasta yang mampu mengalahkannya. Mereka memiliki kecenderungan monopoli, kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan dalam batas kekuasaannya. Kelima, Subyek reformasi administrasi merupakan organisasi yang berskala besar yang cenderung kaku, konservative, mengikuti kebiasaan dan lambat dalam bergerak. Keenam, reformasi lebih berat untuk dilakukan (Ceiden & Siedentop, 1982:89).
Dengan demikian reformasi administrasi tidak pernah mudah untuk dilakukan, dan menjadi lebih sulit untuk mengemabngkan administrasi publik. Hal ini tidak berati prospek reformasi menjadi suram. Karena tidak seorangpun yang dapat puas secara penuh atas kinerja pemerintah. Akan selalu terjdapat jarak antara ideal dan realita. Sehingga berbagai pemikiran atau konsep dikemukan oleh para ahli seperti Osborne dan Gaebler, terj. (2001), yang menawarkan konsep mewirausahakan pemerintah. Menurut mereka kinerja pemerintah akan dapat effektif dan effisien jika mengadopsi cara-cara kerja privat. Osborn dan Plastrik (1996), mengemukakan lima strategi untuk menuju pemerintahan wirausaha. Kendati pikiran Osborn ini banyak mewarnai reformasi kinerja birokrasi, tetapi juga tidak lepas dari berbagai kritikan. Salah satu kritikan dikemukakan oleh Putra, dan Arif dalam kritikannya yang berjudul Kapitalisme Birokrasi, Kritik Reinventing Givernment Osborne-Gaebler, menurut mereka bahwa ide Osborne tersebut merupakan salah satu “revolusi damai” ala kapitalisme yang harus diwaspadai. Karena jika hal ini diterapkan secara mentah-mentah ke dalam lingkup birokrasi justru akan memerosotkan substansi dari birokrasi itu sendiri (Putra dan Arif, 2001).
Disamping strategi reformasi yang dipengaruhi oleh faktor ekternal, sebaliknya juga dapat dilakukan strategi self-reform, yang merupakan proses memperbarui dari dalam diri atau revitalisasi. Konsep revitalisasi kurang mendapat perhatian dalam administrasi publik dibandingkan dalam dunia bisnis. Revitalisasi merupakan proses membuat inisiatif, kreasi, dan konfrontasi yang diperlukan dalam perubahan, dan untuk memungkinkan organisasi tetap bertahan, beradaptasi dengan kondisi baru, memcahkan masalah, belajar dari pengalaman, dan bergerak ke arah organisasi yang lebih dewasa (Lippitt, 1969 dalam Ceiden, 1982:89). Lebih lanjut dikatakan organisasi privat dan publik, mengerjakan kembali bidang garapnya, memperbarui struktur, meningkatkan hubungan, dan menangani kembali tanggung jawabnya terhadap anggota, clientsm atau pekerja. Mereka juga mengerjakan inisiatif mereka, lebih kontinyu, dengan atau tanpa bantuan dari luar. Mereka beranggapan bahwa tanggung jawab perubahan ada pada diri mereka.
Revitalisasi merupakan strategi yang meyakinkan yang dapat diterima. Sebelumnya revitalisasi memiliki kekurangan yang serius dalm sektor publik. Dibandingkan dengan reformasi yang dipengaruhi dari luar, revitalisasi kurang ideal, kurang perfek dan juga lebih praktis, lebih kompromi, dan kurang berani, kurang visioner, kurang inklusif. Revitalisasi tidak cukup secara sendiri untuk mentransformasi administrasi publik. Reformasi dan revitalisasi harus berjalan bersama dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki nilai kelebihan dan kekurangan. Keduanya diperlakukan untuk menjamin good government, meningkatkan kinerja sektor publik, dan mengurangi kesalahan administrsi. Organisasi dalam skala besar tidak dapat merespon dengan mudah untuk melakukan perubahan dengan cepat

III. Reformasi atau Revitalisasi dalam Pilihan Kebijakan
Dalam reformasi administrasi publik dapat dimulai dari penentuan kebijakan. Kebijakan publik merupakan bagian bahkan inti dari administrasi publik, sebagaimana batasan-batasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Kebijakan publik terdiri dari keputusan politik untuk mengimplementasikan program untuk mencapai tujuan sosial. Keputusan tersebut merupakan representasi dari konsensus nilai-nilai. (Cochran dan Malone, 1995: 1). Dalam penyusunan kebijakan publik peran administrasi negara yang tampil dalam wajah birokrasi sangatlah menentukan. Pilihan-pilihan kebijakan publik selama ini sarat dengan muatan politik yang acapkali mengesampingkan tujuan kebijakan publik untuk melayani kebutuhan masyarakat. Namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan publik tidak berada dalam ruang hampa, sebaliknya dia berada dalam ranah yang sarat dengan konflik kepentingan, dan konflik politik. Wahab, mengikuti pandangan Anderson, Kebijakan publik diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah. Dalam kaitan ini aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan negara (Wahab, 1990: 15).Untuk mereformasi Birokrasi sebagai penentu kebijakan publik dapat dilihat dari dua sisi yaitu pertama, level politik dan kedua, level institusional.
Level Politik Kebijakan Publik
Dari aspek politik, negara dalam menentukan kebijakan berkecenderungan untuk mendukung kelompok borjuis kapitalis. Sehingga negara lebih banyak disetir oleh kekuatan-kekuatan pemilik modal. Kebijakan publik bukan berada dalam ranah kosong, tetapi pada hakekatnya kebijakan publik merupakan proses politik. (Solichin A. Wahab, 2004). Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan publik tentu saja negara berpihak pada kelas tertentu. Pertanyaannya adalah negara berpihak pada siapa? Negara jelas berpihak, bukan saja sekedar berpihak, tetapi negara adalah alat kelompok yang dominan dari sebuah masyarakat. Dikatakan oleh Karl Marx, yang diikuti oleh teori Marxis lainnya, bahwa “negara hanyalah sebuah panitia yang mengelola kepentingan kaum borjuis secara menyeluruh” (Arief Budiman, 1996). Pandangan ini yang kemudian dikenal sebagai pendapat aliran Marxis klasik, yang akibatnya para pemikir Marxis menjadi kurang memusatkan studinya pada proses politik umumnya, dan negara khususnya.
Baru pada akhir tahun 1960-an para pemikir Marxis mulai memusatkan perhatian mereka pada kajian tentang negara sebagai sebuah lembaga yang relatif mandiri. Seperti yang dikatakan Jessop “meskipun kaum Marxis sudah lama menyatakan pentingnya peran negara dalam perjuangan kelas, baru pada sepuluh tahun terakhir mereka menyadari bahwa negara merupakan sebuah masalah penting dalam pembahasan ekonomi politik (Arief Budiman, 1996). Menurut Marx semua sistem ekonomi sampai sekarang ditandai oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas-kelas atas. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi. Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan-tangan kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi negara tidak netral melainkan selalu berpihak (Franz Magnis-Suseno, 1999).
Pemikiran Karl Marx ini ditentang oleh kaum pluralis, yang menolak tesis kaum Marxis bahwa negara hanya sekedar merupakan alat dari kelas dominan . Namun di sisi lain kaum pluralis setuju bahwa negara pada dasarnya bukan lembaga yang penting, karena tidak mandiri. Kebijakannya diatur oleh kekuatan di luarnya (Arief Budiman, 1996). Dalam pemikiran kaum pluralis yang dimaksud dengan kekuatan luar di sini adalah masyarakat. Masyarakat inilah yang merupakan kekuatan eksternal yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat tidak hanya dikendalikan oleh kelompok kelas dominan tetapi plural dan tidak ada yang dominan. Kendati terdapat perbedaan antara kaum Marxis dan Pluralis, tetapi terdapat kesamaan yaitu bahwa pada dasarnya negara tidak independen. Konsep negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya menjadi kornban pembangunan adalah rakyat kecil. Kita sering menyaksikan bahwa orang kecil dikalahkan. Negara itu negara hukum, tetapi orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum, sehingga orang besar yang memiliki kapital besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.
Atas dasar pemikiran Marx tersebut, maka kebanyakan kebijakan negara akan menguntungkan kelas-kelas atas. Negara seringkali bertindak atau membuat kebijakan atas nama kepentingan masyarakat, namun pada dasarnya hanya untuk melayani kelas atas. Dengan perspektif ideologisnya, Marx menjelaskan bahwa klaim negara mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa. Selanjutnya Franz Magnis-Suseno mengemukakan bahwa kapitalisme membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas ideologis karena sekaligus menutup-nutupi bahwa sistem kapitalis menguntungkan para pemilik modal. Kapitalisme mengklaim bahwa ia adalah sistem sosial-ekonomis pertama yang tidak mengenal privilese, yang memperlakukan setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapapun yang mau berusaha untuk maju dan yang membrikan imbalan atas prestasi. Marx menyebutkan dalam karya utamanya Das Kapital: secara formal, kapitalisme menjaga keadilan karena ia membayar upah yang cukup agar tenaga kerja yang dihabiskan dalam pekerjaan bagi sang kapitalis dapat dikembalikan. Menurut Marx, prinsip kapitalisme adalah pertukaran nilai yang sama (exchange of equivalents), tetapi pada dasarnya menutupi nilai lebih pekerjaan buruh yang dicaplok oleh kapitalis. Dengan demikian, kapitalisme dalam persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan ekonomi dan politik dari kelas-kelas yang dominan (internasional maupun domestik) dan negara (Mohtar, Mas’oed, 2003). Sehingga kelas-kelas bawah seperti buruh dan petani seringkali hanya menjadi korban kebijakan negara yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Ketika negara melakukan pilihan kebijakan pada dasarnya bukan sesuatu yang gratis, tetapi selalu saja ada kepentingan kapital dibaliknya.
Kekhasan sistem ekonomi kapitalis dapat dilihat dari dua segi yaitu: pertama, dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum, yaitu hukum tawar menawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang bebas, bebas dari pelbagai pembatasan raja dan penguasa (orang bebas membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimanapun, dia tidak terikat pada tempat kerjanya), yang menentukan semata-mata adalah keuntungan yang lebih besar. Dari segi output, adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Orang yang memproduksi atau membeli sesuatu bukan untuk dipergunakan, melainkan karena ingin menjualnya lagi dengan keuntungan yang setinggi mungkin. Secara sederhana, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah uang dan bukan barang produksi (Franz Magnis-Susueno, 1999).
Dengan demikian, kapitalisme dalam persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan ekonomi dan politik dari kelas-kelas yang dominan (internasional maupun domestik) dan negara (Mohtar, Mas’oed, 2003: 51) Lebih lanjut dikemukakan Mohtar Mas’ud mengutip pendapat Robinson (1988), bahwa pengalaman berbagai Negara Industri Baru (NIB) di Asia Timur dan Tenggara memiliki ciri-ciri yang sama yaitu: 1) Perkembangan cepat kapitalisme industrial (tahap akhir) di Asia menciptakan kelas-kelas pemilik kapital baru yang pada mulanya sangat rentan, dan perkembangannya ini di dukung oleh negara yang otoriter. 2) Negara-negara otoriter cocok untuk menjalankan fungsi-fungsi politik dan ekonomi yang sangat esensial bagi pertumbuhan kapitalisme. 3) Dalam pengertian ini, berkembanglah sesuatu yang disebut “pakta dominasi” antara kapitalis utama dengan para pemimpin pemerintahan berdasar kepentingan yang sama. Dengan demikian negara dan kelas berjalan bersama-sama melakukan pembangunan menurut jalan kapitalis. 4) Seiring dengan perkembangannya industrialisasi menurut jalan kapitalis itu berkembang pula kelas menengah dan kelas pemilik kapital dengan sumber-sumber kekuatan politik yang cukup besar. 5) Transformasi struktural yang terjadi di dalam negeri itu diperkuat dengan tekanan tekanan internasional ketika negara itu semakin terintegrasi ke dalam pembagian kerja internasional dan memasuki tahap industrialisasi berorientasi eksport. 6) Faktor yang juga mendukung proses itu pada dasawarsa 1980-an adalah melemahnya negara-negara otoriter itu akibat krisis ekonomi yang beruntun. Dan 7) Pada awal 1990-an konteks internasional mempengaruhi yang merupakan arena bagi beroperasinya industrialisasi negara-negara itu mempengaruhi sistem politik mereka. (Mohtar Mas’ud, 2003:55-57).
Untuk itu mendekatkan kebijakan publik ke arah kepentingan publik menjadi sebuah keharusan jika tujuan reformasi administrasi ingin dapat tercapai. Muatan label publik menurut Denhard (1984), perlu ditandai dengan kinerja-kinerja yang syarat bertalian dengan:
• Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati bersama (publicy defined societal values) dan tujuan publik (public purpose).
• Implementasi nilai-nilai sosial politik yang berlandaskan etika dalam tataran manajemen publik ( provide an ethical basis for public management)
• Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values)
• Penekanan pada pekerjaan publik dalam rangka pelaksanaan mandat pemerintah (emphasis on public policy in crrying out mandate of government)
• Keterlibatan dalam pelayanan publik (involvement overall quality of public services).
• Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in public interest) (Denhard dalam Hariyoso, 2002:49).
Dalam perspektif politik dengan demikian reformasi administrasi bersifat lebih luas dan mendasar, karena mencakup sistem politik, sosial dan ekonomi yang menjadi pilihan pembuat kebijakan publik.
Level Institusional Kebijakan Publik
Pada level institusional dan operasional, untuk memperbaikinya, para ahli administrasi negara lebih banyak mengadopsi konsep-konsep organisasi dan manajemen bisnis. Hal ini karena perkembangan teori organisasi dan manajemen di sektor bisnis bergerak lebih cepat dibandingkan sektor publik. Lerner dan Wannat (1992) mengemukakan bahwa inovasi manajerial dalam sektor privat telah banyak diadopsi oleh sektor publik, dan ternyata mampu untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi sektor publik. Hanya ketika menginjak pada pemerataan pendapatan, meningkatkan daya saing nasional, dan ideologi manajemen sektor privat menjadi kurang memadai. Manajemen sektor privat harus disesuaikan untuk kebutuhan sektor publik (Purwanto). Reich (1990) juga berpendapat bahwa sistem organisasi yang digunakan di sektor privat mampu menyediakan perangkat untuk mencapai efisiensi kerja yang tinggi dan mampu untuk mencapai laba yang tinggi. Namun untuk sektor publik pertimbangan efisiensi dan keuntungan laba saja tidak cukup, karena organisasi publik juga dituntut melaksanakan prinsip akuntabilitas kepada rakyat (Reich dalam Purwanto).
Reformasi institusi merupakan hal yang penting juga untuk memperbaiki kinerja birokrasi. North (1990) mengemukakan pengertian institusi adalah rules of the game in a society or more formally the humanly devided constrains that shape human interaction. Institution reduse incertainty by providing a structure to every life. Berdasar definisi North tersebut, dalam institusi terdapat: 1) norma, budaya dan etika, yang merupakan suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi di praktekkan; rules, yaitu peraturan-peraturan formal tertulis, dan 3) struktur yaitu organisasi.
Bromley (1989) mengembangkan suatu model yang disebut The Policy Process as a Hierarchi
Menurut Bromely, policy level ditunjukkan oleh lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, dan organizational level ditunjukkan oleh eksekutif. Pada level policy tugasnya adalah menetapkan policy umum. Policy disusun berdasarkan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Kemudian diperdebatkan melalui proses politik dan dirumuskan ke dalam bentuk policy. Implementation policy adalah pada level organisasi. Organisasi dikembangkan dan disusun dengan maksud untuk menyediakan instrumen untuk mencapai tujuan seperti yang telah dituangkan pada level policy. Pada level ini perlu ditetapkan aturan mainnya (rule and ethics) dan program-program yang harus dilaksanakan. Level operasional bekerja adalah di masyarakat – rumah tangga dan perusahaan. Pada level instituinal arrangement yang disusun pada level organisasi akan diterapkan.
Reformasi organisasi pemerintah ditujukan untuk membentuk organisasi yang ramping, flexibel, dan mampu bekerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan. Untuk menuju organisasi pemerintah yang responsif dan mampu menciptakan iklim yang sehat dalam kerangka ekonomi global dan market orintation, maka sistem organisasi yang ada saat ini perlu dikaji ulang.





Tabel 2. Perbedaan antara Sistem Birokrasi dengan
Pemerintahan Wirausaha

Pemerintahan Wirausaha Birokrasi
Steering
Empowering
Competition
Mission Driven
Funding Outcomes
Customer-driven
Earning
Preventing
Teamwork participation
Market Rowing
Service
Monopoli
Rule – driven
Budgeting inputs
Bureaucracy driven
Spending
Curing
Hierarchy
Organization
Sumber: Frederickson, George H. (1997) The Spirit of Public administration,
San Fransisco, Jossey Bass, Inc.

Osborne dan Gaebler, mengemukakan bahwa administrasi negara diharapkan:
a. Lebih mengarahkan ketimbang ikut serta di dalamnya;
b. Memberikan wewenang kepada masyarakat ketimbang sekedar melayani;
c. Lebih sebagai pendorong untuk terjadinya kompetisi dalam pemberian pelayanan;
d. Lebih digerakkan oleh misi ketimbang oleh peraturan;
e. Lebih berorientasi kepada hasil (outcomes);
f. Lebih berorientasi kepada kepentingan publik; (costumer oriented)
g. Lebih mampu menghasilkan dana ketimbang hanya membelanjakan;
h. Lebiha antisipatif
i. Tidak sentralistis; dan
j. Berorientasi pada pasar, dengan cara perubahan melalui mekanisme pasar.
(Osborne dan Gaebler, 1996)

Dilihat dari pendekatan kelembagaan dalam analisis kebijakan publik, pendapat Frederickson, George H. dan Osborne, Gaebler belum dapat dilakukan sepenuhnya. Lembaga-lembaga pemerintah selama ini telah memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan publik. Oleh karena itu, hubungan antara kebijakan publik dengan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembaga pemerintah setidaknya memberi dua karakteristik terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipandang sebagai kewajiban-kewajiban yang sah yang menuntut loyalitas warga negara. Kedua, kebijakan pemerintah memerlukan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut (Winarno, 2002: 42).
Pendekatan kelembagaan ini memiliki kelemahan yang paling mencolok tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan publik. Sebaliknya studi lembaga biasanya lebih berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara secara khusus, seperti struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa memperhatikan dampak tersebut terhadap kebijakan publik (Winarno, 2002: 43). Kondisi birokrasi pemerintah pada umumnya juga masih terjebak pada institusi, sehingga gerakannya menjadi sangat kaku dan lamban, bahkan berbelit-belit, yang pada gilirannya tujuan dari birokrasi sebagai pelayan publik tidak dapat tercapai. Sebagai sebuah institusi, birokrasi memiliki landasan kerja berupa peraturan-peraturan.
Namun peraturan yang berlebihan (over regulated), justru menyebabkan birokrasi menjadi tidak efisien. Sementara kondisi di luar senantiasa bergerak dan masyarakat membutuhkan pelayanan yang cepat. Oleh kerena Osborne dan Gaebler (1996), menyarankan agar peraturan-peraturan yang ada dikaji kembali dan dikurangi jumlahnya. Mereka menyarankan agar pemerintah lebih dituntun oleh visi dan misi daripada oleh peraturan. Keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh visi dan misi akan lebih efektif, efisien, inovatif, flexibel dan lebih memiliki semangat yang tinggi dibandingkan dengan organisasi pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan
Pembaharuan pada tingkat institusi birokrasi dengan demikian juga perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Diantaranya dengan melakukan Downsizing, dilakukan untuk memperoleh organisasi yang ramping. Fungsi-fungsi diluar fungsi pokok pemerintah dipotong dan fungsinya dialihkan kepada swasta dengan membangun patrtnership dan atau privatisasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban administrasi negara dalam mengelola pemerintahan. Agar organisasi pemerintah memiliki kemampuan yang maksimal dalam mengelola administrasi negara maka secara internal ia harus membenahi dirinya terlebih dahulu sebelum melakukan partnership dan privatisasi (Purwanto). Model Downsizing ini merupakan salah satu konsep revitalisasi sebagaimana dikemukakan Caiden (1991), dimana perubahan yang ada dilakukan dari dalam diri sendiri. Sejalan dengan Caiden, menurut Warella, (2005), revitalisasi mempunyai scope yang relatif sempit, dia berada pada tataran administrative improvement.
Pembenahan struktur dalam organisasi pemerintahan memang selalu dalam perdebatan. Karena dengan perampingan organisasi misalnya, maka akan terdapat pihak-pihak yang tergusur, yang acap kali menimbulkan permasalahan baru dalam organisasi. Keterkaitan antara reformasi institusional juga dipertanyakan, Winarno, (2002), benarkah akan secara langsung berkaitan dengan pilihan pengambilan kebijakan. Kendati demikian perubahan-perubahan yang dilakukan dari dalam organisasi akan tetap berpengaruh dalam penentuan pilihan kebijakan. Karena kondisi yang tidak seimbang dalam organisasi dapat menimbulkan moral (Milgrom dan Robert, 1992). Dalam sektor publik kondisi tidak seimbang ini merupakan pemicu munculnya praktek-praktek kolusi, korupsi, korupsi, dan perburuan rente (rent seeking) (Purwanto).

IV. Kesimpulan
Berdasarkan tulisan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pada hakekatnya reformasi administrasi negara merupakan bagian dari reformasi besar, politik, sosial, ekonomi, dan hukum.
2. Perubahan administrasi publik dalam penentuan pilihan kebijakan publik yang dipengaruhi oleh aspek-aspek politik dan berbagai faktor dari luar (inducement), dapat dimaknai sebagai reformasi administrasi publik.
3. Sementara pada level institusional birokrasi yang melakukan self-reform dapat dikategorikan sebagai revitalisasi.
4. Sejalan dengan pikiran Caiden, reformasi dan revitalisasi administrasi dalam penentuan pilihan kebijakan publik harus berjalan bersama dan saling melengkapi untuk mencapai tujuan administrasi negara.


DAFTAR PUSTAKA

Caiden, Gerald E. and Henrich Seidentopt. (eds)., 1982, Strategies Administrative Reforms, Lexington Books

_______, 1991, Administrative Reform Comes of Age, New York: Walter de Gruyter

Cochran, Charles L. and Eloise F. Malone, 1995, Public Policy, Perspective and Choiches, McRraw-Hill, Inc.

Denhard, Robert B., 1991, Public Administration An Action Orientation, University
of Colorado at Denver, California, Brooks/Cole Publishing Company.

Dwiyanto, Agus, et.al., 2002, Reformasi Birokrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

Hariyoso, 2002, Pembaruan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik: Peradaban

Henry, Nixholas, 2004, Public Administration and Public Affairs, Georgia Southern
University, Pearson Prentice Hall.

Mas’oed, Mohtar, 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Osborne, David dan Ted Gaebler, terj. Abdul Rosyid, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo

_______, dan Peter Plastrik, terj. Abdul Rosyid dan Ramlan, 2000, Memangkas Birokrasi, Jakarta: PPM

Peters, Guy B., 2001, The Future of Governing, University Press of Kansas

Purwanto, Joko, Reformasi Administrasi Negara Indonesia (Sebuah Pemikiran Konseptual untuk Meningkatkan Kinerja Administrasi Negara, Universitas Terbuka.

Putra, Fadillah dan Saiful Arif, 2001, Kapitalisme Birokrasi, Kritik Reinventing Government Osborne-Gaebler, Yogyakarta. LKIS

Suseno, Frans Magnis, 1999, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tjokroamidjojo, Bintoro, Reformasi Administrasi Publik, Program Magister Ilmu Administrasi, Universitas Krisnadwipayana

Utomo, Warsito, 2005, Administrasi Publik Indonesia di Era Demokrasi Lokal, Yogyakarta, UGM

Wahab, Solichin Abdul, 1991, Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara

_______, 2004, Materi Kuliah Perbandingan Kebijakan Publik, PDIA-Unibraw

Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo

Warella, Yacob, 2005, Materi Kuliah Reformasi Administrasi Negara, PDIA Unibraw.

LILIA YULIANA
NPM 2009 004

Rabu, 07 April 2010

Interaksi perilaku ditinjau dari administrasi publik

SOSIALISASI

Hasan Mustafa

Ketika bayi dilahirkan, dia tidak tahu apa-apa tentang diri dan lingkungannya. Walau begitu, bayi tersebut memiliki potensi untuk mempelajari diri dan lingkungannya. Apa dan bagaimana dia belajar, banyak sekali dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana dia dilahirkan. Kita bisa berbahasa Indonesia karena lingkungan kita berbahasa Indonesia; kita makan menggunakan sendok dan garpu, juga karena lingkungan kita melakukan hal yang sama; Demikian pula apa yang kita makan, sangat ditentukan oleh lingkungan kita masing-masing.
Sosialisasi adalah satu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.

Syarat terjadinya sosialisasi
Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat – karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu..Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dsb. akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial.
Warisan dan Kematangan Biologikal .
Dibandingkan dengan binatang, manusia secara biologis merupakan makhluk atau spesis yang lemah karena tidak dilengkapi oleh banyak instink. Kelebihan manusia adalah adanya potensi untuk belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Warisan biologis yang merupakan kekuatan manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi pada berbagai macam bentuk lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa memahami masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi di dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya. Namun tidak semua manusia mempunyai warisan biologis yang baik, sebab ada pula warisan biologis yang bisa menghambat proses sosialisasi. Manusia yang dilahirkan dengan cacat pada otaknya atau organ tubuh lainnya (buta, tuli/bisu, dsb.) akan mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi.
Proses sosialisasi juga dipengaruhi oleh kematangan biologis (biological maturation), yang umumnya berkembang seirama dengan usia biologis manusia itu sendiri. Misalnya, bayi yang usianya empat minggu cenderung memerlukan kontak fisik, seperti ciuman, sentuhan, pelukan. Begitu usianya enambelas minggu maka dia mulai bisa membedakan muka orang lain yang dekat dengan

*) Disadur dari ”Early Socialization” Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994.
dirinya, dan lalu mulai bisa tersenyum. Pada usia tiga bulan, seorang bayi jangan diminta untuk berjalan atau pun berhitung, berpakaian, dan pekerjaan lainnya. Semua itu akan sia-sia, menghabiskan waktu karena secara biologis, bayi tersebut belum cukup matang. Dengan demikian warisan dan kematangan biologis merupakan syarat pertama yang perlu diperhatikan dalam proses sosialisasi.

2. Lingkungan yang menunjang.
Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.
Ketika awal berada di rumah sakit, kondisi Ginie sangat buruk. Dia kekurangan gizi, dan tidak mampu bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian atas kematangan mentalnya ternyata mencapai skor seperti kematangan mental anak-anak berusia satu tahun. Para psikolog, akhli bahasa, akhli syaraf di UCLA (Universitas California) merancang satu program rehabilitasi mental Ginie. Empat tahun program tersebut berjalan ternyata kemajuan mental Ginie kurang memuaskan. Para akhli tersebut heran mengapa Ginie mengalami kesukaran dalam memahami prinsip tata bahasa, padahal secara genetis tidak dijumpai cacat pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah sakit sampai dengan usia dua puluh tahun, Ginie dilibatkan dalam lingkungan yang sehat, yang menunjang proses sosialisasi. Hasilnya, lambat laun Ginie mulai bisa berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Rene Spitz (1945). Dia meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang memperoleh nutrisi dan perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh perhatian personal. Ada enam perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia di bawah delapan belas bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut berbaring di dalam kamar tidur tanpa ada “human-contact”. Dapat dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali menangis, tertawa, dan mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama sangat rendah, dan dua tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan di atas sepertiga dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia. Dari apa yang ditemukannya, Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan fisik dan psikis seorang bayi pada tahun pertama sangat mempengaruhi pembentukan mentalnya. Bayi pada saat itu sangat memerlukan sentuhan-sentuhan yang memunculkan rasa aman – kehangatan, dan hubungan yang dekat dengan manusia dewasa – sehingga bayi dapat tumbuh secara normal di usia-usia selanjutnya.

Apa yang disosialisasikan ? : Budaya .
Anak dilahirkan dalam dunia sosial. Mereka merupakan anggota baru di dunia tersebut. Dari kacamata masyarakat, fungsi sosialisasi adalah mengalihkan segala macam informasi yang ada dalam masyarakat tersebut kepada anggota-anggota barunya agar mereka dapat segera dapat berpartisipasi di dalamnya.
Berdasarkan pengalaman yang kita miliki, banyak aspek-aspek kehidupan kita relatif stabil dan bisa diprediksi. Jalan-jalan yang cenderung padat di pagi hari, orang berlibur di akhir pekan, anak-anak usia enam tahun mulai bersekolah, tata letak bangunan fisik suatu kota – ada alun-alun, pusat perbelanjaan, terminal bis, dsb., makan tiga kali dalam satu hari. Kesemua perilaku masyarakat tadi sudah membentuk satu pola perilaku umum yang secara teratur terjadi setiap hari. Keteraturan yang relatif stabil tersebut mengembangkan satu pola interaksi sebagai satu bentuk dari budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan hal yang yang diciptakan oleh unit-unit sosial di mana setiap anggota unit sosial tersebut memberikan makna yang relatif sama pada hal-hal tadi; keyakinannya, nilai, norma, pengetahuan, bahasa, pola interaksi, dan juga hal-hal yang berkaitan dengan sarana fisik, seperti bangunan, mobil, baju, buku.

Komponen atau unsur Budaya
Nilai adalah prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu atau kelompok sehingga mengikatnya dan lalu sangat berpengaruh pada perilakunya. Nilai berkaitan dengan gagasan tentang baik dan buruk, yang dikehendaki dan yang tak dikehendaki. Nilai membentuk norma, yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif. Norma sendiri ada berbagai tingkatan , yaitu adat istiadat (folkways) – cara makan, cara berpakaian, - anggota yang tidak melaksanakannya “hanya” kena sanksi sosial mis : dianggap aneh, “nyleneh”; “mores” – aturan bisa tidak tertulis namun sanksinya relatif berat - misalnya telanjang bulat di depan kelas akan dianggap gila ; dan hukum (laws) – aturannya tertulis dan perlanggarnya bisa diperjarakan. Selain nilai dan norma, satu unsur budaya lainnya adalah peran. Peran atau peranan adalah seperangkat harapan atau tuntutan kepada seseorang untuk menampilkan perilaku tertentu karena orang tersebut menduduki suatu status sosial tertentu.

Siapa yang mensosialisasikan budaya ? : Agen Sosialisasi
Institusi. Institusi adalah satu bentuk unit sosial yang memfokuskan pada pemenuhan satu bentuk kebutuhan masyarakat. Misalnya sekolah, keluarga, agama. Mass-media : koran, majalah, televisi, radio. Individu dan kelompok – kakak, adik, ayah, ibu, teman, guru, kelompok hobi, korpri, dharmawanita, dsb.

Bagaimana cara mensosialisasikan budaya ?
Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran . Pembelajaran tidak sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana saja. Yang dimaksud dengan belajar atau pembelajaran adalah modifikasi perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di dalam lingkungan sosial/ fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan di mana dia dibesarkan. Demikin pula seorang yang suka makan “jengkol/jering”, mereka belajar dari lingkungannya.
Ada tiga teori yang relatif kuat yang dapat menjelaskan proses pembelajaran dalam sosialisasi. Pertama adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory), kedua teori perkembangan individu (developmental theory), dan ketiga teori interaksi simbolis (symbolic interaction theory).

A. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji di depan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya memujinya .
Pendekatan kedua dikenal dengan nama “observational learning”. Tokoh di balik konsep tersebut adalah Albert Bandura. Inti perndekatan ini adalah bahwa perilaku seseorang diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Individu meniru perilaku orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin mensosialisasikan hidup secara teratur, disiplin, maka caranya adalah memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak untuk ditiru.

B. Berdasarkan teori-teori perkembangan, pembelajaran , sosialisasi di tahap awal melibatkan serangkaian tahapan. Setiap tahap akan memunculkan bentuk perilaku tertentu dan setiap manusia perilakunya berkembang melalui tahapan yang sama. Misalnya, tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Ericson (1950), ada delapan tahapan. Tahap pertama pengembangan rasa percaya pada lingkungan, tahap kedua pengembangan kemandirian, tahap ketiga pengembangan inisiatif, tahap keempat pengembangan kemampuan psikis dan pisik, tahap kelima pengembangan identitas diri. Kelima tahapan tersebut terjadi pada saat sosialisasi di masa kanak-kanak. Tahap perkembangan setelah itu adalah tahap keenam merupakan pengembangan hubungan dengan orang lain secara intim, tahap ketujuh pengembangan pembinaan keluarga/keturunan, dan tahap kedelapan pengembangan penerimaan kehidupan.
Interaksi dengan manusia lain dalam proses sosialisasi merupakan satu keharusan. Interaksi senantiasa mengandalkan proses komunikasi, dan salah satu alat komunikasi adalah bahasa. Kapasitas seseorang berbahasa dipengaruhi oleh akar biologis yang sangat dalam, namun pelaksanaan kapasitas tersebut sangat ditentukan oleh lingkungan budaya di mana kita dibesarkan. Berdasarkan teori perkembangan ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahap pertama adalah di tahun pertama, yaitu tahapan sebelum seorang anak berbahasa (prelinguistic stage). Disebut sebagai “sebelum berbahasa” karena bunyi yang dikeluarkan belum disebut kata-kata. Misalnya : “a-a-a-a, det-det-det, ga-ga-ga, “. Tahap kedua adalah tahap di mana anak sudah mulai belajar berjalan (toddlers). Mulai belajar bicara, misalnya “tu-tu” untuk kata “itu”; “dul” untuk kata “tidur”, “mi-mi” untuk kata “minum”, dst. Di samping bahasa verbal, dalam tahapan itu juga, anak juga sudah mulai menggunakan bahasa nonverbal (body language). Menganggukan kepala untuk mengatakan ya, menunjuk dengan jari untuk mengatakan itu, dsb. Tahap ketiga : sebelum masuk sekolah. Anak sudah bisa bicara dengan kata-kata dan struktur bahasa yang sederhana. dan terbatas pada apa yang diajarkan oleh keluarga. Tahap berikutnya terjadi setelah anak mulai sekolah. Dalam tahapan ini anak memperoleh perbendaharaan kata yang lebih banyak. Mereka juga belajar menyusun kata-kata secara lebih benar sesuai dengan ejaan yang secara umum digunakan oleh masyarakat luas.
Selain perkembangan dalam hal-hal tersebut sebelumnya, manusia mengalami perkembangan moral (moral development). Salah satu konsep yang banyak dibahas adalah terori yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (1984). Lihat lampiran.

C. Berdasarkan teori interaksi simbolis
Asal teori ini dari disiplin sosiologi, yaitu satu teori yang memusatkan pada kajian tentang bagaimana individu menginterpretasikan dan memaknakan interaksi-interaksi sosialnya. Di dalam teori ini ditekankan bagaimana peran aktif seorang anak dalam sosialisasi. Sejak masa kanak-kanak, kita belajar mengembangkan kemampuan diri (mengevaluasi diri, memotivasi diri, mengendalikan diri). Menurut Herbert Mead (1934) ada tiga proses tahapan pengembangan diri yang memungkinkan seorang anak menjadi mampu berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial. Tahap pertama adalah preparatory stage, tahap kedua play stage, dan tahap terakhir adalah game stage.
Pada tahapan pertama, anak belum mampu memandang perilakunya sendiri. Mereka meniru perilaku orang lain yang ada di sekitarnya dan mencoba memberikan makna. Anak juga mulai belajar menangkap makna dari bahasa yang digunakannya. Pada tahapan kedua, anak mulai belajar berperan seperti orang lain. Berperilaku seperti ayahnya, ibunya, guru, dsb. Melalui bermain peran yang beraneka ragam itu anak mempelajari pola-pola perilaku individu lainnya . Tahap ketiga merupakan tahapan di mana anak melatih ketrampilan sosialnya. Dia belajar bagaimana memenuhi harapan orang lain yang jumlahnya tidak hanya satu. Memenuhi harapan teman-temannya, kelompok bermainnya, kelompok belajarnya, dsb.

YUYUN YUNAWATI/2009003